“..Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka
merobah keadaan [768] yang ada pada diri
mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum,
maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi
mereka selain Dia.(Q.S Ar-Ra’d: 11)
Bismillahirrahmanirrahim...
Sebagai
bagian dari bangsa Indonesia yang menyebut dirinya sebagai bangsa yang besar,
bangsa yang kaya, bangsa yang kuat sadarkah kalian telah membiarkan
penghancuran secara berlahan di bangsa ini. Mungkin sebagian orang telah larut
dalam lupa atau “acuh tak acuh” terhadap sesama sikap itu merupakan “rayap”
yang telak menggrogoti sendi-sendi norma dan nilai kebangsaan kita. Telah lupakah
kita akan kebesaran masalalu Indonesia, bukan karena tekhnologi, bukan karena
kekuatan militer indonesia masa prasejarah memiliki kejayaan yang begitu
tersohor. Majapahit, Sriwijaya, merupakan bukti kecil kejayaan Indonesia
tersebut. Kejayaan yang penulis maksut adalah kejayaan kesatuan dan persatuan
antar individu, kejayaan akan norma, nilai dan budaya yang memiliki falsafat
hidup yang luhur.
Bangsa
besar dengan jutaan penduduk, jutaan ribu kilometer luasnya, dan sumberdaya
alam yang melimpah. Sebagian orang yang telah berfikir telah kecewa terhadap
generasi ini, para pahlawan pejuang kemerdekaan Indonesia telah sakit hati
terhadap generasi ini, nenek moyang yang mengajarkan budaya norma dan nilai
yang luhur telah menangis mendengar kabar generasi ini telah berhiyanat. Apakah
pembiaaran ini akan terus di lanjutkan, dengan sistem hukum, peraturan, yang
tak jelas bagi keadilan. Disini kita tidak hanya berbicara keadilan semata,
kami membicarakan norma hidup yang telah pudar.
Gejala
yang terjadi di masyarakat mungkin telah dianggap biasa karenaseringnya terjadi
dan dibiyarkan menimbulkan asumsi yang wajar di pikiran mereka. Seorang
pencopet di bis kota melakukan aksinya dan salahsatu penumpang bis mengetahui
kejadian itu tetapi dia diam saja karena nerpikir bukan dia yang kecopetan lalu
apa masalahnya bagi dirinya, berfikir tentang mencari amanya sendiri juka dia
teriak copet dia takut akan timbal balikn yang akan mengancam dirinya. Tentunya
kejadian tersebut adalah pemikiran yang salah karena sikap ego individual yang
besar di dalam dirinya. Ada seorang ibu hamil naik bis kota, dan kehabisan
tempat duduk di dalam bis itu adakah orang lain yang peduli terhadap dia,
mungkina ada hanya 1, 2 orang yang peduli dan berdiri memberikan tempat
duduknya. Kejadian ini mungkin biasa menurut anda, inilah pembiaran kenapa
hanya 1,2 orang yang peduli padahal di dalam bis itu ada belasan orang.
Tanggung
jawab kebarsamaan telah pudar, musnah terkikis gemerlap liberalisme dengan
kedok demokrasi. Pemerintah telah melakukukan subsidi BBM, Bensin, Solar. SPBU
telah banyak dibangun oleh pemerintah di pusat-pusat kota. Berpikirkah mereka
tentang nelayan di pesisir jauh dari kota yang lebih membutuhkan bahan bakar
itu untuk bahan bakar mereka melaut. Berpikirkah mereka tentang petani yang
membutuhkan solar untuk traktor membajak sawah di desa-desa. Pernahkan melihat
SPBU dibangun di pesisir plosok desa para nelayan, Pernahkan melihat SPBU
dibangun di desa-desa di kaki gunung. Telah banyak bahan bakar itu di konsumsi
para massyarakat yang lebih mampu di kota-kota besar bagaimana tidak “jebol”
APBN negara memberi makan orang-orang kaya yang tak punya urat malu. Dan
massyarakat marjinal belum nenikmati bantuan subsidi itu dengan sepenuh hak
mereka, wacana kenaikan BBM terus di komandangkan tiap tahunnya. Mereka para
pejabat telah berfikirkah dampak para masyarakat marjinal tersebut.
Pajak
adalah sumber utama pemasukan devisa negara, pajak dibayarkan oleh warga negara
untuk memajukan negaranya. PBB ( Pajak Bumi dan Bangunan) begitu krusial,
dengan kasus yang jarang di sorot oleh masyarakat luas. Dengan perkembangan
jaman akses jalan raya di desa-desa menimbulkan gejala naiknya nilai jual
(Valuta) pada tandah di pinggir jalan tersebut yang merupakan sawah pertanian.
Naiknya nilai jual tanah menimbulkan efek domino terhadap nilai pajak pada
tanah tersebut, banyak kasus penjualan tanah persawahan akibat tingginya nilai
pajak dan iming-iming para pengusaha yang mengincar tanah pertanian di pinggir
jalan itu sebagai aset bisnis yang akan di jadikan perumahan atau ruko-ruko
potensial. Pada sisilain pemerintah telah mencanangkan suasembada beras, apakah
ini untuk mensejahterakan apa penghancuran negara yang tak di pikirkan.
Aparat
negara sebagai pelindung bangsa dan masyarakatnya. Bengsa indonesia yang
memiliki nilai-nilai luhur yaitu perdamaian merupakan sikap yang indah. Telah
di aplikasikan oleh aparat penegak hukum seperi telah tertangkap pengendara
sepeda motor tanpa menggunakan helem seharusnya di peringatkan dan melaksanakan
hukum secara sistemnya tetapi karena budi baik bangsa indonesia suka perdamaian
oknum penegak hukum itu pun menawarkan uang damai untuk kelancaran bersama. Salah
kaprah telah di biarkan berlarut-larut dan dianggap biasa. Militer sebagai
pelindung keamanan pertahanan bangsa begitu gagah telah menyerang polsek,
komando kusus merupakan komando elit kebanggan telah sukses melakukan misi
pembunuhan di lembaka pemasyarakatan di landasi oleh solidaritas. Solidaritas
dan dendam telah meleset pada arti yang sesungguhnya.
Telah
lelah bangsa ini dengan kasus yang terlalu berat kita bahas kasus yang ringan.
Televisi memiliki berbagai tontonan yang menarik, Sinetron para polotisi
bertengkar dan saling berteriak, mahasiswa berteriak di jalan di tangkap. Kasus
ini juga mungkin terlalu berat, sinetron banyak contoh buruk di dalamnya
seperti menggunakan telpon genggam saat mengemudi, dibiarkan padahal telah
banyak ratusan kasus kecelakaan akibat penggunaan telepon genggam. Mengendarai
sepeda motor tanpa helem lebih parah padahal kepolisian sangat gencar dengan
hal ini tetapi gejala ini di biarkan. Pemeran jahat pada sinetron selalu menang
dan orang jujur dan baik selalu sengsara dan tekanan batin. Gejala besar pun
tak dipikirkan apa gejala sekecil ini masih perlu di perhatikan.
Parahnya
bangsa ini melakukan pembiaran karena bodohnya mereka apa karena ketakutan
dengan gejala itu sendiri padahal telah dilahirkan para sarjanah, akademisi
tetapi hanya melahirkan pola pemikiran terjajah. Apa ini salah para pendahulu
kita 300 tahun telah di jajah masih di turunkan pola pemikiran itu. Begitu tragis,
janganlah saling menyalahkan marikita berkaca apa yang salah pada diri kita
masing-masing. Ingatlah kita ini makhluk sosial, memiliki gelar Khalifah,
pengelola alam, penjaga keseimbangan, pemimpin, dan kita ini satu dari sumber
yang satu maka kata perdamaian yang sesungguhnya bukanlah mustahi bagi kita.
Mari generasiku bangun bangsaku, demi anak cucuku, dengan persatuan dan
kesatuan. Bineka tunggal ika bukan sekedar falsafat ini adalah jiwa bangsa
kita.
Alhamdullilahhirobil alamin..
oleh: - @krishnatn
0 komentar:
Posting Komentar